Kebahagiaan Kemana Mencarinya ?
‘Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan (Jangan
Bersedih) mengatakan ,kebahagiaan menurut para sahabat adalah sesuatu yang
tidak banyak menyibukkan , kehidupan yang sangat sederhana, dan penghasilan
yang sangat pas pasan.
Seorang Syeh
,Guru Thoriqoh dalam satu nasehatnya
kepada beberapa orang yang mendatanginya mengatakan, semua orang menginginkan
hidup dalam kebahagiaan. Namun menurutnya kebanyakan orang salah jalan dan
keliru cara mendapatkannya. Kebahagiaan bukanlah karena
banyaknya harta yang dimiliki, bukan pula karena jabatan tinggi dalam
pekerjaannya. Kebahagiaan adalah milik orang yang hatinya berdzikir kepada Alloh SWT, demikian katanya.
Walaupun harta
pas-pasan ,kalau hatinya senantiasa berdzikir kepada Alloh ,itulah yang
menyebabkan orang hidup dalam ketenangan dan membebaskannya dari segala
kesuntukan dan kesedihan. Dan sebaliknya walaupun hidup dengan bergelimang
kemewahan, segala kebutuhan dan fasilitas terpenuhi, bepergiaan dengan mobil
mahal , rumah megah anak-anak sukses dalam berkarir namun jika hatinya lupa
kepada Alloh, tidak mau beribadah kepada Alloh maka hidupnya tidak akan
menemukan ketenangan.
Hidupnya tidak akan
bahagia. Bahkan segala kemewahan yang dimilikinya itu akan menjadi sumber
segala kesedihan, keresahan dan ketakutan. Harta bendanya setiap saat akan
merongrong jiwa dan pikirannya untuk berbuat yang semakin jauh dari
kebahagiaan.
Kebahagiaan yang
dirasakannya dari kemewahannya itu
bukanlah kebahagiaan haqiqi, tapi kebahagiaan semu dan sangat menipu
yang muncul dari nafsunya. Kebahagiaan haqiqi adalah kebahagiaan yang
dipancarkan oleh Alloh kepada hati orang –orang mu’min dan itu bisa diberikan
oleh Alloh tanpa ada kaitan dengan kekayaan duniawi.
Sang Mursyid tadi kemudian menyontohkan perihal kehidupan
pribadinya yang tidak punya PT (perusahaan) dan pekerjaan yang menghasilkan
banyak uang , namun menyatakan hidupnya sangat damai, tentram dan bahagia.
“Ingatlah
, dengan berdzikir kepada ALLOH ,hati akan menjadi tenang”(al-Quran).
Kebanyakan orang
menganggap bahwa yang namanya hidup bahagia adalah yang serba kecukupan, rumah
mewah, mobil bagus, istri cantik, suami berpangkat dengan pekerjaan dan gaji
yang besar, anak-anak yang sukses sekolah dan berhasil mendapatkan pekerjaan
layak, status terhormat, setiap hari libur bisa berjalan-jalan bersama keluarga
dengan mobilnya yang nyaman.
Tidak. Anggapan
seperti itu sangatlkah tidak benar dan telah tertipu luar dalam. Banyak orang kaya berkecukupan namun hidupnya
selalu gelisah, tidak tenang, malamnya susah tidur, khawatir akan kehilangan
jabatan, takut akan orang yang hendak merampas kedudukannya. Kesusahan juga
menghinngapi anak-anaknya yang bebas bergaul dan terlibat narkotika. Sang
anak kehilangan pegangan hidup sang anak menjadi mahluk merana secara rohani
karena orang tuanya tidak sempat memikirkan dan mengurusnya , terelana sibuk dengan urusan kantor, sibuk
dengan bisnisnya –yang awalnya berpikir , semua itu untuk kebahagiaan anak-anak
dan keluarganya. Inilah yang disebut salah jalan dalam menempuh hidup bahagia.
Mereka telah salah
dalam merumuskan kebahagiaan dan telah salah dalam mengambil keputusan didalam
mengarungi kehidupan di alam yang penuh jebakan dan tipuan ini. Akhirnya bukan
kebahagiaan yang didapatkan. Akan tetapi hari-hari penuh kesedihan, penyesalan
dan kesuntukan serta frustasi tiada
ujung yang ditemuinya.
Kebahagiaan adalah
milik orang-orang yang tidak serakah, milik orang yang selalu ingat bahwa
Allahlah yang telah menganugerahi kekayaannya, yang tidak sombong dengan harta
miliknya, yang tidak melupakannya dari ibadah kepada Allah. Kebahagiaan adalah
milik orang yang pandai bersyukur. Milik orang yang menyerahkan segala urusan
dunia dan akhiratnya kepada Sang Penguasa Alam, Allah Rabbul ‘Alamin.
Kebahagiaan adalah
milik orang yang tidak lupa akan kewajiban menjalankan Sholat dalam kesibukan
apapun. Kebahagiaan adalah milik orang yang menempatkan kepentingan dan
perintah Alloh di atas perintah siapapun . Kebahagiaan adalah milik orang yang
menganggap bahwa akhirat adalah yang
terpenting dan dunia hanya sebentar, kecil, remeh sehingga tidak perlu orang
dibuat terlena karenanya.
“Tidaklah kehidupan
dunia kecuali hanya kenikmatan yang menipu” (al-Quran).
Saya pernah
mengunjungi banyak orang yang secara ekonomi hidup dalam keadaan seadanya,
kalau diukur dengan teori kesejahteraan
yang dipakai pemerintah ,jelas masuk katagori miskin . Ketika salah satu dari
mereka menyuguhkan sepiring kerupuk ketela buatan sendiri dan segelas air putih
tawar, dari bibirnya terlontar kalimat yang sangat menyejukkan “ Monggo dipun
syukuri (Silahkan disyukuri)”. Subhanalloh, sebuah kalimat yang meluncur dari
bibir dan hati orang yang beriman. Menyejukkan.Saya dan kawan-kawan pun enak
menikmatinya, tanpa canggung sedikitpun.
Namun suatu ketika
saya juga pernah bertamu ke rumah teman yang hidup dalam kecukupan. Beraneka
kue baik basah maupun kering telah disuguhkan di atss mejanya yang harganya
jauh diatas harga meja orang-orang kampung. Namun seketika hatiku sesak ketika
dari mulut tuan rumah terlontar tawaran
yang berbau kesombongan, “Silahkan mas dicicipi, maaf nggak ada apa-apanya”. Astaghfirullohal
Ghofurorrohiem --Semoga Alloh yang maha pengampun dan penyayang mengampuninya.
Suguhan roti saya
makan, namun tidak senikmat kerupuk ketela dari dukuh Kemenyep , sebuah
perdukuhan di puncak Gunung Simego bersebelahan dengan dataran tinggi Dieng,
Wonosobo, Jawa Tengah. Udara yang dingin menyengat berubah menjadi hangat
karena rahmat dan berkah orang-orang
yang pandai mensykuri Ni’mat dan Karunia-Nya, sekecil apapun.
Ya, Alloh semoga
engkau jadikan kami sebagai orang yang pandai dalam mensyukuri ni’mat-Mu, dan
jauhkan kami dari sikap kufur ni’mat.Amin.
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar